Oleh: Dahlan Iskan
SEBENARNYA hebat sekali berita ini: pemerintah sedang menagih uang besar. Piutang lama. Lebih dari Rp 100 triliun.
Saya harus memuji: ternyata pemerintah jeli. Ada tagihan lama yang masih bisa diuber. Sangat lumayan jumlahnya. Apalagi di saat pemerintah lagi kesulitan uang seperti sekarang ini.
Itulah tagihan BLBI –bantuan likuiditas Bank Indonesia– untuk mengatasi krisis moneter 1998.
Jenis bantuan seperti itu diperintahkan oleh ”juragan” Indonesia saat itu: IMF –dana moneter internasional.
Yang harus membantu: Bank Indonesia.
Yang harus dibantu: bank-bank swasta yang kesulitan uang.
Dasar pemikirannya: kalau bank-bank tersebut tidak disuntik dana akan tutup. Rakyat yang punya simpanan di bank tersebut gigit jari. Perekonomian nasional akan hancur. Satu bank tutup akan menyeret bank lainnya.
Dikucurkanlah BLBI sebesar Rp 147,7 triliun.
Ternyata terjadi kejahatan masal: dana bantuan dari Bank Indonesia itu banyak mengalir ke perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh pemilik bank itu sendiri.
Macet. Krisis moneter tetap terjadi. Parah sekali. Bank-bank tersebut tetap tidak kuat hidup. Ekonomi berantakan. Rupiah jadi Rp 15.000/dolar. Politik kacau. Sampai Presiden Soeharto yang begitu kuat, lengser dari istana.
Siapa pun presidennya, setelah Pak Harto itu, harus menerima madu yang beracun. Harus menyelesaikan BLBI itu: BJ Habibie, Gur Dur, Megawati.
Nilainya: Rp 147,7 triliun.
Penerima: 48 buah bank.
Audit BPK menyimpulkan, dari Rp 147,7 triliun, yang Rp 138 triliun mengalir ke mana-mana. Termasuk ke perusahaan sendiri. Itulah yang dianggap merugikan negara.
Lalu diuber. Banyak yang sudah masuk penjara. Banyak juga yang belum. Banyak pula yang mendadak kaya-raya dari permainan di sekitar BLBI.
Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, termasuk yang diuber-uber. Ia lari ke Singapura bersama istri. Status mereka buron.
Tambak udangnya yang terbesar di dunia, Dipasena, di Lampung, tidak terurus. Berantakan. Tapi industri kertasnya tetap berkembang pesat. Menjadi salah satu raksasa di Asia. Berkembang pula ke berbagai macam bisnis lainnya. Anak Nursalim-lah yang mengelola. Sang ayah mengendalikannya dari Singapura.
April tahun ini berkah dari langit turun ke Sjamsul Nursalim. KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) untuk tersangka Sjamsul Nursalim. Konsekuensi dari putusan bebas Mahkamah Agung (MA) terhadap eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung. Sjamsul Nursalim dan istrinya memang jadi tersangka bersamaan dengan Syafruddin. MA menganggap kasus BLBI bukan pidana. Itu sepenuhnya perdata.
Orang seperti Nursalim –dan yang lain-lainnya– memang sudah memperoleh surat sakti: bebas utang BLBI. Yakni sejak mereka menyerahkan aset ke pemerintah –diwakili oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional).
Mereka mendapat dua kemudahan:
1. Boleh melunasi utang BLBI dengan cara menyerahkan aset.
2. Mendapat potongan utang luar biasa besar. Ibaratnya utang Rp 100 boleh dibayar Rp 8.
Potongan sebesar itu dianggap wajar, saat itu. Di negara lain pun demikian. Yang penting krisis segera berakhir. Ekonomi segera bergerak kembali.
Naiknya perekonomian secara nasional jauh lebih besar dari kerugian memberikan potongan itu.
Aset yang mereka serahkan ke negara itu dibagi ke dalam dua kelompok:
1. Kelompok aset yang dikelola BUMN (lewat perusahaan PT PPA). Jumlahnya tidak banyak.
2. Kelompok aset yang diserahkan ke Dirjen Kekayaan Negara.
Dengan bebasnya Sjamsul Nursalim, keinginan memenjarakan siapa saja akan gagal.
Maka Presiden Jokowi membentuk Satgas penagihan uang BLBI. Menko Polhukam, Menko Kemaritiman dan Investasi, Menko Perekonomian masuk di dalamnya. Juga Menteri Keuangan serta Menkum HAM.
Satgas ini kuat sekali.
Tapi menagih yang mana lagi ya? Ada yang bisa membantu menjelaskan?
Demikian juga Tommy Soeharto. Apakah ia punya utang BLBI? Ia pemilik bank apa? Terkait Bank Pesona?
Bahkan Tommy ini dianggap yang tidak kooperatif. Dipanggil tidak datang. Baru di panggilan ketiga Tommy mengirim pengacara. Sang pengacara mengatakan: akan mengirim proposal penyelesaiannya.
Rasanya, seingat saya, Tommy tidak terkait dengan BLBI. Mungkin kredit lainnya. Atau soal pajak.
Pokoknya salut: siapa pun diuber.
Untuk uberan lainnya, apa lagi ya yang masih bisa diuber? Apakah aset-aset yang diserahkan dulu itu masih bermasalah? Belum sepenuhnya bisa dikuasai dirjen? Kenapa baru sekarang diurus? Bukankah itu sudah berumur 17 tahun?
Kenapa tidak dijual saja di sekitar tahun 2010? Ketika ekonomi lagi bagus-bagusnya dan harga aset lagi baik-baiknya? Atau dijual di tahun sekitar 2015? Yang ekonomi juga masih bagus?
Sebenarnya kita beruntung masih punya menteri keuangan yang berapa pun tahunnya orangnya masih sama. Dialah yang paling tahu semua itu. (Dahlan Iskan)
Komentar