oleh

Menahan Kerinduan Beribadah Haji

CALON jamaah haji (CJH) Indonesia harus kembali menunda keberangkatan ibadah haji tahun ini. Keputusan pembatalan pemberangkatan telah diumumkan menteri agama kemarin. Hal itu selaras dengan usul Komisi VIII DPR yang menjadi mitra Kementerian Agama (Kemenag) agar pemerintah tidak memberangkatkan CJH tahun ini.

Pertimbangan utama untuk tidak mengirim CJH tahun ini adalah keamanan, kesehatan, dan tiadanya kejelasan dari pemerintah Arab Saudi. Sementara persiapan penyelenggaraan ibadah haji di tengah pandemi Covid-19 membutuhkan waktu yang berlebih.

Ini merupakan tahun kedua ibadah haji musim pandemi tanpa jamaah dari Indonesia. Keputusan pemerintah pasti terasa sangat berat bagi CJH. Sebab, mereka telah berpuluh tahun menahan kerinduan berangkat ke Tanah Suci. Dengan penuh kesabaran, mereka menunggu antrean selama 20–30 tahun. Bahkan, di Kabupaten Bantaeng, Sidrap, Pinrang, dan Wajo, antrean CJH mencapai lebih dari 40 tahun (Jawa Pos, 1/6/2021).

Di tengah waktu menunggu antrean panjang itu, CJH mempersiapkan diri dengan bekal terbaik. Semua itu dilakukan sebagai persiapan untuk menyambut panggilan sebagai tamu Allah SWT (wafdullah). Rasanya sudah terbayang dalam angan-angan CJH tatkala mengelilingi Kakbah (tawaf), berjalan mondar-mandir antara Bukit Shafa dan Marwah (sai), berkumpul di Arafah (wukuf), melontar dengan batu-batu kecil (jumrah), bermalam (mabit) di Muzdalifah dan Mina, menggunting atau mencukur rambut (tahalul), dan mencium batu hitam (hajar aswad).

Semua bayangan itu tidak dapat diwujudkan tahun ini karena pandemi Covid-19 belum benar-benar melandai. Pandemi juga melanda Arab Saudi, negara yang dikenal sebagai pelayan dua kota suci Makkah dan Madinah (khadimul haramayn). Untuk menjaga keselamatan dan kesehatan jamaah di tengah pandemi, penundaan pemberangkatan CJH merupakan keputusan terbaik. CJH mesti menyadari bahwa menjaga diri (hifdz al-nafs) dari bahaya merupakan bagian dari ajaran agama yang sangat fundamental (QS Al Baqarah: 195).

Semoga Penundaan Terakhir

Selain motivasi keagamaan, perspektif bercorak sosiologis juga diberikan tokoh revolusioner Iran Ali Shariati (1933–1977). Dalam karya berjudul Hajj (The Pilgrimage), Ali Shariati menekankan perhatiannya pada pengalaman spiritual yang diperoleh jamaah haji. Pengalaman berdimensi rohani-spiritual itulah yang selalu membuat umat merindukan untuk diundang ke Tanah Suci sebagai tamu Allah. Dengan elok, Ali Shariati menggambarkan fase-fase dalam rangkaian ibadah haji yang selalu dirindukan umat.

Dalam bagian pendahuluan buku Hajj (1978), Ali Shariati mengilustrasikan ibadah haji sebagai sebuah pertunjukan. Pernyataan Shariati jelas tidak berlebihan jika kita memperhatikan protokol ibadah haji. Jika diamati secara saksama, pelaksanaan rukun Islam kelima itu memang laksana sebuah pertunjukan. Tetapi bukan pertunjukan biasa, melainkan pertunjukan akbar karena melibatkan jutaan orang. Lebih dari empat juta orang menjadi pelaku drama kolosal. Mereka bergerak dari satu titik ke titik yang lain.

Dalam pertunjukan akbar itu, Allah bertindak sebagai sutradara. Tokoh-tokoh yang harus diperankan antara lain Adam, Ibrahim, Hajar, dan setan. Lokasi utamanya di sekitar Masjid Haram, Masjid Nabawi, Tanah Haram, Kakbah, Shafa, Marwah, Arafah, Muzdalifah, Mina, dan tempat bersejarah lainnya yang selalu mengundang jamaah haji untuk berziarah. Simbol-simbol yang penting diperhatikan adalah siang, malam, matahari terbit, matahari tergelincir, matahari terbenam, berkurban, tahalul, dan berhala.

Baju kebesaran yang harus dipakai adalah pakaian ihram. Penting disadari, pemain utama dari drama kolosal itu adalah setiap jamaah haji. Karena ibadah haji laksana pertunjukan, setiap pemain dituntut untuk memainkan peran dengan penuh penghayatan. Untuk itulah, setiap jamaah haji harus membawa bekal terbaik saat berangkat ke Tanah Suci. Menurut Alquran, sebaik-baik bekal yang harus dibawa jamaah haji adalah takwa (QS Al Baqarah: 197). Modal ketakwaan akan menjamin setiap jamaah mampu menjiwai karakter tokoh yang diperankannya.

Apabila dihayati dengan baik, prosesi ibadah haji dapat mengantarkan setiap pribadi dalam kehidupan yang diwarnai kesadaran mengenai keberadaan Allah. Rumah Allah (Baitullah, Kakbah) yang mengarah ke semua penjuru melambangkan bahwa Allah berada di mana saja. Tatkala kesadaran itu muncul, setiap jamaah haji termotivasi untuk mencium hajar aswad atau minimal melambaikan tangan ke arah Kakbah. Saat itulah setiap jamaah haji merasakan kedekatannya dengan Allah. Tanpa disadari air mata pun tumpah sebagai wujud syukur karena dapat memenuhi panggilan Allah untuk berkunjung ke Kakbah.

Pertanyaannya, mampukah jamaah haji menghayati peran yang dimainkan? Jawabannya, secara umum jamaah haji sukses memainkan peran dalam pertunjukan akbar itu. Salah satu indikatornya, tidak ada jamaah haji yang ”kapok” berangkat ke Tanah Suci. Yang terjadi justru keinginan untuk senantiasa dipanggil sebagai tamu-tamu Allah.

Tetapi, pada tahun kedua pandemi, CJH harus kembali menahan kerinduan dipanggil sebagai tamu Allah. Semua CJH mesti menerima kenyataan dengan penuh kesabaran seraya berserah diri kepada Allah semata. Semoga hal ini menjadi bagian dari ikhtiar memutus mata rantai persebaran Covid-19. (*)

Oleh BIYANTO ; Biyanto, Guru besar filsafat UIN Sunan Ampel, wakil sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

Komentar

Berita Lain-nya