TAHUN 1959 silam, Emory University School of Medicine (EUSM) di Atlanta, AS, menolak Marion Hood sebagai mahasiswa baru. Hood ditolak karena berkulit hitam, padahal pintar. Kini, setelah lebih dari enam dekade, dekan EUSM mengirim surat minta maaf atas penolakan tersebut.
Setelah mendapat perlakuan diskriminatif, akhirnya Hood diterima di Fakultas Kedokteran Loyola University, Chicago. Hingga memasuki usia 83 tahun, Hood berpraktik sebagai dokter spesialis kandungan. Bagi EUSM, diskriminasi itu menjadi catatan sejarah kelam yang selamanya terus disesali.
Hari-hari ini, lulusan SMA, MA, dan SMK seluruh Indonesia mengalami tekanan psikologis luar biasa mencemaskan dalam penerimaan di perguruan tinggi (PT). Sebagian siswa lega karena sudah diterima lewat salah satu jalur penerimaan. Bagi siswa dan orang tua, belajar di PT merupakan satu tahapan menuju masa depan lebih baik sesuai cita-cita.
Dalam penerimaan mahasiswa baru, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menetapkan berbagai skema pendaftaran yang memudahkan masyarakat. Semua PT harus patuh terhadap kebijakan yang ditetapkan Kemendikbudristek.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemendikbudristek bersama Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) di awal 2021 meluncurkan sistem seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) 2021. Dengan sistem tersebut, diharapkan terjadi peningkatan mutu seleksi penerimaan mahasiswa baru PTN.
Optimalisasi mutu penerimaan mahasiswa ditetapkan Ditjen Dikti berupa tiga jalur seleksi, yaitu SNMPTN, SBMPTN, dan seleksi mandiri. Selain itu, sistem dikembangkan dalam model proses seleksi sesuai perkembangan teknologi informasi. Dengan sentuhan teknologi digital serta pengembangan model tes secara berkesinambungan, LTMPT berharap semua PT mampu memperoleh calon mahasiswa berkriteria unggul.
Keunggulan calon mahasiswa ditentukan prestasi yang telah dicapai pada tingkat sekolah sebelumnya, baik bidang akademik maupun nonakademik. Prestasi akademik mencerminkan keberhasilan siswa yang dinyatakan dalam satuan nilai yang tertera di ijazah. Sementara prestasi nonakademik dapat diperoleh siswa aktif dan juara berbagai kompetisi atau lomba yang diagendakan resmi oleh Kemendikbudristek.
Hasil prestasi yang dicapai siswa sudah barang tentu menjadi pertimbangan utama dalam setiap jalur seleksi penerimaan. Jalur SNMPTN, misalnya, mempertimbangkan nilai akademik atau gabungan nilai akademik dan prestasi lain yang ditetapkan PTN didukung pembiayaan bersubsidi penuh dari pemerintah. Sekolah juga berperan menetapkan siswa yang memenuhi syarat (eligible).
Adapun jalur SBMPTN merupakan seleksi berdasar hasil ujian tulis berbasis komputer (UTBK) atau kombinasi hasil UTBK dan kriteria lain yang ditetapkan secara bersama oleh PTN. Sekalipun peserta dikenai sebagian biaya, pemerintah memberi subsidi yang dapat meringankan orang tua. Hasil seleksi kedua jalur telah diumumkan kepada masyarakat.
Pemerintah dan PTN telah right on the track dalam menentukan calon mahasiswa unggul sesuai ketentuan. Baik jalur SNMPTN maupun SBMPTN, PT hanya menerima mahasiswa berdasar capaian prestasi. Hasilnya diumumkan dan dapat diakses publik sekaligus menjamin transparansi. Semua keputusan penerimaan akuntabel alias dapat dipertanggungjawabkan. Memang sudah selayaknya iklim apresiatif terhadap prestasi diterapkan di semua lini kehidupan, apalagi dunia pendidikan.
Entitas sosial yang menghargai prestasi disebut sistem merit atau meritokrasi. Hampir semua negara, khususnya negara maju, sangat menghargai prestasi sebagai sarana mobilitas vertikal. Seorang pegawai, misalnya, hanya dapat dipromosikan ke jabatan lebih tinggi semata karena prestasi yang dicapai, bukan karena subjektivitas berdasar like and dislike.
Penegakan sistem merit bukan merupakan perkara mudah. Ibarat benang basah, sistem merit sulit ditegakkan karena menghadapi berbagai kepentingan. Intervensi kepentingan pihak tertentu berpengaruh signifikan terhadap objektivitas keputusan. Kriteria prestasi dikalahkan subjektivitas dalam bentuk kepentingan pribadi atau komunal.
Hood ditolak menjadi mahasiswa kedokteran bukan karena tak berprestasi, namun sistem sosial yang diskriminatif. Ada banyak calon mahasiswa yang mengalami peristiwa yang mungkin lebih menyedihkan.
Beberapa calon mahasiswa mengeluhkan kriteria penerimaan mahasiswa baru, khususnya untuk jalur mandiri yang saat ini memulai masa seleksi. Sesuai namanya, jalur ini merupakan kewenangan PT secara mandiri menetapkan kriteria penerimaan meskipun tetap merujuk kaidah dan rambu-rambu dari Kemendikbudristek.
Merespons keluhan calon mahasiswa serta adanya manuver kalangan tertentu, beberapa PT menyusun skema jalur mandiri berkriteria adaptif. Universitas Airlangga, misalnya, membuka skema jalur mandiri kemitraan dengan kriteria yang diumumkan transparan. Hampir semua PTN, terutama PTN berbadan hukum, merumuskan langkah serupa.
Namun, jalur mandiri di setiap PT harus tetap menghargai prestasi calon mahasiswa. PT berkepentingan memperoleh calon mahasiswa terbaik atau unggul berdasar kriteria yang dapat dikembangkan lebih mendalam merujuk best practice.
Tak sekadar berdasar nilai yang dicapai calon, penentuan kriteria dapat dikembangkan dengan mempelajari praktik terbaik yang dilakukan salah satu PT terbaik di dunia, yaitu Harvard University. Dalam penerimaan calon mahasiswa baru, Harvard mencermati figur individu berdasar nilai prospektif sebagai mahasiswa yang mampu menginspirasi setiap orang, baik semasa kuliah maupun pascakuliah. Formulir pendaftaran berisi pertanyaan dengan jawaban yang akan dianalisis secara cermat sebelum dinyatakan diterima.
Calon mahasiswa harus memenuhi prospek pertumbuhan, relevansi hobi, dan kegiatan dengan studi, karakter, serta kontribusi terhadap komunitas. Setiap PT di Indonesia dapat mengembangan kriteria penerimaan sesuai kondisi asal tak diskriminatif. Jangan diskriminatif terhadap calon mahasiswa, nanti menyesal seperti dialami EUSM. (*)
*) Jusuf Irianto, Guru Besar MSDM Dep Adm Publik FISIP Universitas Airlangga
Komentar